Jumat, 08 Juni 2012

Andragogi


Teori Belajar Andragogi
1.     Pengertian Teori Belajar Andragogi
Andragogi berasal dari bahasa Yunani kuno: "aner", dengan akar kata andr, yang berarti orang dewasa, dan agogus yang berarti membimbing atau membina. Istilah lain yang sering dipergunakan sebagai perbandingan adalah "pedagogi", yang ditarik dari kata "paid" artinya anak dan "agogus" artinya membimbing atau memimpin. Dengan demikian secara harfiah "pedagogi" berarti seni atau pengetahuan membimbing atau memimpin atau mengajar anak. Karena pengertian pedagogi adalah seni atau pengetahuan membimbing atau mengajar anak maka apabila menggunakan istilah pedagogi untuk kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi orang dewasa jelas tidak tepat, karena mengandung makna yang bertentangan. Banyak praktik proses belajar dalam suatu pelatihan yang ditujukan kepada orang dewasa, yang seharusnya bersifat andragogis, dilakukan dengan cara-cara yang pedagogis. Dalam hal ini prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pelatihan bagi orang dewasa.
Dengan demikian maka kalau ditarik pengertiannya sejalan dengan pedagogi, maka andragogi secara harfiah dapat diartikan sebagai ilmu dan seni mengajar orang dewasa. Namun karena orang dewasa sebagai individu yang sudah mandiri dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, maka dalam andragogi yang terpenting dalam proses interaksi belajar adalah kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri dan bukan merupakan kegiatan seorang guru mengajarkan sesuatu (Learner Centered Training/Teaching).

2.     Perkembangan Teori Belajar Andragogi
Malcolm Knowles dalam publikasinya yang berjudul "The Adult Learner, A Neglected Species" yang diterbitkan pada tahun 1970 mengungkapkan teori belajar yang tepat bagi orang dewasa. Sejak saat itulah istilah "Andragogi" makin diperbincangkan oleh berbagai kalangan khususnya para ahli pendidikan.
Sebelum muncul Andragogi, yang digunakan dalam kegiatan belajat adalah Pedagogy. Konsep ini menempatkan murid/siswa sebagai obyek di dalam pendidikan, mereka mesti menerima pendidikan yang sudah di setup oleh sistem pendidikan, di setup oleh gurunya/pengajarnya. Apa yang dipelajari, materi yang akan diterima, metode panyampaiannya, dan lain-lain, semua tergantung kepada pengajar dan tergantung kepada sistem. Murid sebagai obyek dari pendidikan.
Kelemahannya Pedagogi adalah manusia (dalam hal ini adalah siswa) yang memiliki keunikan, yang memiliki talenta, memiliki minat, memiliki kelebihan, menjadi tidak berkembang, menjadi tidak bisa mengeksplorasi dirinya sendiri, tidak mampu menyampaikan kebenarannya sendiri, sebab yang memiliki kebenaran adalah masa lalu, adalah sesuatu yang sudah mapan dan sudah ada sampai sekarang. Perbedaan bukanlah menjadi hal yang biasa, melainkan jika ada yang berbeda itu akan dianggap sebagai sebuah perlawanan dan pemberontakan. Pedagogy memiliki kelebihan, yakni di dalam menjaga rantai keilmuan yang sudah diawali oleh orang-orang terdahulu, maka rantai emas dan benang merah keilmuan bisa dilanjutkan oleh generasi mendatang. Generasi mendatang tidak perlu mulai dari nol lagi, melainkan tinggal melanjutkan apa yang sudah ditemukan, apa yang sudah dirintis, apa yang sudah dimulai oleh generasi mendatang.
Dalam Andragogy inilah, kita kenal istilah-istilah Enjoy Learning, Workshop, Pelatihan Outbond,dll, dan dari konsep Pendidikan Andragogy inilah kemudian muncul konsep-konsep Liberalisme pendidikan, Liberasionisme pendidikan dan Anarkisme pendidikan. Liberalisme pendidikan bertujuan jangka panjang untuk melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial yang ada dengan cara mengajar setiap siswa sebagaimana cara menghadapi  persoalan-persoalan dalam kehidupan sehari-hari secara efektif. Liberasionisme pendidikan adalah sebuah sudut pandang yang menganggap bahwa kita musti segera melakukan perombakan berlingkup besar terhadap tatanan politik (dan pendidikan) yang ada sekarang, sebagai cara untuk memajukan kebebasan-kebebasan individu dan mempromosikan perujudan potensi-potensi diri semaksimal mungkin. Bagi pendidik liberasionis, sekolah bersifat obyektif namun tidak sentral dan sekolah bukan hanya mengajarkan pada siswa bagaimana berpikir yang efektif secara rasional dan ilmiah, melainkan juga mengajak siswa untuk memahami kebijaksanaan tertinggi yang ada di dalam pemecahan-pemecahan masalah secara intelek yang paling meyakinkan. Dengan kata lain, liberasionisme pendidikan dilandasi oleh sebuah sistem kebenaran yang terbuka. Secara moral, sekolah berkewajiban mengenalkan dan mempromosikan program-program sosial konstruktif dan bukan hanya melatih pikiran siswa. Sekolahpun harus memajukan pola tindakan yang paling meyakinkan yang didukung oleh sebuah analisis obyektif berdasarkan fakta-fakta yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles tentang prinsip pendidikan yaitu sebagai wahana pengkajian fakta-fakta, mencari ‘yang obyektif’, melalui pengamatan atas kenyataan. Anarkisme pendidikan pada umumnya menerima sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan melalui penalaran ilmiah). Tetapi berbeda dengan liberal dan liberasionis, anarkisme pendidikan beranggapan bahwa harus meminimalkan dan atau menghapuskan pembatasan-pembatasan kelembagaan terhadap perilaku personal, bahwa musti dilakukan untuk membuat masyarakat yang bebas lembaga. Menurut anarkisme pendidikan, pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengupayakan untuk mempercepat perombakan humanistik berskala besar yang mendesak ke dalam masyarakat, dengan cara menghapuskan sistem persekolahan sekalian.
angkah-Langkah Pokok dalam Andragogi
Langkah-langkah pokok untuk mempraktikkan Andragogi adalah sebagai berikut:
a.      Menciptakan Iklim Pembelajaran yang Kondusif: Ada beberapa hal pokok yang dapat dilakukan dalam upaya menciptakan dan mengembangkan iklim dan suasana yang kondusif untuk proses pembelajaran, yaitu:
1)     Pengaturan Lingkungan Fisik: Pengaturan lingkungan fisik merupakan salah satu unsur dimana orang dewasa merasa terbiasa, aman, nyaman dan mudah. Untuk itu perlu dibuat senyaman mungkin:
a)     Penataan dan peralatan hendaknya disesuaikan dengan kondisi orang dewasa;
b)     Alat peraga dengar dan lihat yang dipergunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi fisik orang dewasa;
c)     Penataan ruangan, pengaturan meja, kursi dan peralatan lainnya hendaknya memungkinkan terjadinya interaksi social.
2)     Pengaturan Lingkungan Sosial dan Psikologi: Iklim psikologis hendaknya merupakan salah satu faktor yang membuat orang dewasa merasa diterima, dihargai dan didukung.
a)     Fasilitator lebih bersifat membantu dan mendukung;
b)     Mengembangkan suasana bersahabat, informal dan santai melalui kegiatan Bina Suasana dan berbagai permainan yang sesuai;
c)     Menciptakan suasana demokratis dan kebebasan untuk menyatakan pendapat tanpa rasa takut;
d)     Mengembangkan semangat kebersamaan;
e)     Menghindari adanya pengarahan dari "pejabat-pejabat" pemerintah;
f)       Menyusun kontrak belajar yang disepakati bersama.
3)     Diagnosis Kebutuhan Belajar: Dalam andragogi tekanan lebih banyak diberikan pada keterlibatan seluruh warga belajar atau peserta pelatihan di dalam suatu proses melakukan diagnosis kebutuhan belajarnya:
a)     Melibatkan seluruh pihak terkait (stakeholder) terutama pihak yang terkena dampak langsung atas kegiatan itu;
b)     Membangun dan mengembangkan suatu model kompetensi atau prestasi ideal yang diharapkan;
c)     Menyediakan berbagai pengalaman yang dibutuhkan;
d)     Lakukan perbandingan antara yang diharapkan dengan kenyataan yang ada, misalkan kompetensi tertentu.

4)     Proses Perencanaan: Dalam perencanaan pelatihan hendaknya melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak langsung atas kegiatan pelatihan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa 'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta dalam pengambilan keputusan:
a)     Libatkan peserta untuk menyusun rencana pelatihan, baik yang menyangkut penentuan materi pembelajaran, penentuan waktu dan lain-lain;
b)     Temuilah dan diskusikanlah segala hal dengan berbagai pihak terkait menyangkut pelatihan tersebut;
c)     Terjemahkan kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasi ke dalam tujuan yang diharapkan dan ke dalam materi pelatihan;
d)     Tentukan pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di antara pihak terkait siapa melakukan apa dan kapan.
5)     Memformulasikan Tujuan: Setelah menganalisis hasil-hasil identifikasi kebutuhan dan permasalahan yang ada, langkah selanjutnya adalah merumuskan tujuan yang disepakati bersama dalam proses perencanaan partisipatif. Dalam merumuskan tujuan hendaknya dilakukan dalam bentuk deskripsi tingkah laku yang akan dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
6)     Mengembangkan Model Umum: Ini merupakan aspek seni dan arsitektural dari perencanaan pelatihan dimana harus disusun secara harmonis antara beberapa kegiatan belajar seperti kegiatan diskusi kelompok besar, kelompok kecil, urutan materi dan lain sebagainya. Dalam hal ini tentu harus diperhitungkan pula kebutuhan waktu dalam membahas satu persoalan dan penetapan waktu yang sesuai.
7)     Menetapkan Materi dan Teknik Pembelajaran: Dalam menetapkan materi dan metoda atau teknik pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a)     Materi pelatihan atau pembelajaran hendaknya ditekankan pada pengalaman-pengalaman nyata dari peserta pelatihan;
b)     Materi pelatihan hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan berorientasi pada aplikasi praktis;
c)     Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya menghindari teknik yang bersifat pemindahan pengetahuan dari fasilitator kepada peserta;
d)     Metoda dan teknik yang dipilih hendaknya tidak bersifat satu arah namun lebih bersifat partisipatif.
8)     Peranan Evaluasi Pendekatan: evaluasi secara konvensional (pedagogi) kurang efektif untuk diterapkan bagi orang dewasa. Untuk itu pendekatan ini tidak cocok dan tidaklah cukup untuk menilai hasil belajar orang dewasa. Ada beberapa pokok dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar bagi orang dewasa yakni:
a)     Evaluasi hendaknya berorientasi kepada pengukuran perubahan perilaku setelah mengikuti proses pembelajaran/pelatihan;
b)     Sebaiknya evaluasi dilaksanakan melalui pengujian terhadap dan oleh peserta pelatihan itu sendiri (Self Evaluation);
c)     Perubahan positif perilaku merupakan tolok ukur keberhasilan;
d)     Ruang lingkup materi evaluasi "ditetapkan bersama secara partisipatif" atau berdasarkan kesepakatan bersama seluruh pihak terkait yang terlibat;
e)     Evaluasi ditujukan untuk menilai efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan program pelatihan yang mencakup kekuatan maupun kelemahan program;
f)       Menilai efektifitas materi yang dibahas dalam kaitannya dengan perubahan sikap dan perilaku.